Sabtu, 20 April 2013

Penataan Perpustakaan

PENATAAN PERPUSTAKAAN

 
Banyak orang berpendapat kualitas perpustakaan hanya dinilai menurut jumlah koleksi buku didalamnya. Semakin banyak dan beragamnya koleksi buku, seolah-olah perpustakaan dikatakan semakin menuju arah ideal. Pernyataan itu memang tidak dapat dipersalahkan, tetapi marilah kita telaah lebih jauh aspek apa lagi yang ternyata sangat berpengaruh bagi peningkatan kualitas perpustakaan.
Aspek penataan ternyata sangat berpengaruh pada perpustakaan. Dibutuhkan suatu seni dan kreativitas dalam menata perabot perpustakaan agar terlihat menarik tanpa mengurangi efisiensi pelayanan didalamnya. Selain itu, pemilihan pernik atau hiasan untuk mempercantik tiap ruang dapat menjadikan daya tarik tersendiri. Salah satu trik dalam menata perpustakaan agar enak dipandang yaitu dengan menyesuaikan tema tata ruang dengan momen yang sedang ‘hangat-hangatnya’ yaitu pada saat hari Besar (Keagamaan), Peringatan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI, Hari Ibu, Tahun Baru, Hari Kartini, Hardiknas, dan masih banyak lagi. Yang kemudian penataan tersebut dikemas dalam konsep ‘Library’s Special Moment’.
Sangat membosankan, apabila perpustakaan hanya mengandalkan pelayanan sirkulasi dan penambahan kuantitas bahan bacaan. Kurangnya perhatian terhadap kondisi penataan ruang dan pemilihan hiasan perpustakaan, mengakibatkan perpustakaan kehilangan ruh (jiwa)nya. Perpustakaan terlihat sunyi dan mati, sehingga tidak dipungkiri semakin lama pengunjung-pun merasa jenuh dan gerah. Tidak ada salahnya bila kita mengambil konsep ’special event’ di mall-mall dan berbagai pusat perbelanjaan. Hiasan ketupat berbahan plastik sampai miniatur masjid berbahan gabus dan karton, seolah menjadi pernik tahunan yang mempercantik sudut-sudut ruang saat mendekati hari Lebaran. Contoh yang lain, jelang Lebaran, toko-toko baju lebih mengedepankan penjualan baju-baju muslim dengan alasan meningkatnya permintaan masyarakat akan baju muslim. Hal ini terlihat pada pemindahan space (ruang) untuk display (memamerkan) koleksi baju muslim didekat pintu masuk toko agar lebih mudah disaksikan dan didatangi pengunjung. Berlatar belakang masalah tersebut, penulis berusaha mengaplikasikan konsep yang telah lama berkembang tersebut dalam perpustakaan. Mampukah konsep ’Library’s Special Moment’ akan mendongkrak jumlah pengunjung perpustakaan? Atau justru akan mengurangi makna edukatif dan intelektualitas perpustakaan itu sendiri?
Library’s Special Moment tidak lain adalah konsep penataan perabot perpustakaan dan pemilihan hiasan (untuk dinding, furnitur, dsb)yang bertujuan menciptakan keserasian antara muatan edukasi perpustakaan dengan kebermaknaan keadaan (perayaan-perayaan) yang sedang berlangsung dimasyarakat. Istilah ”Library’s spesial moment” yang dalam bahasa Indonesia berarti Momen Spesial Perpustakaan, memang sengaja dikarang oleh penulis sendiri, mengingat diberbagai literatur belum ditemukan nama yang jelas mengenai konsep penataan ini. Maka dengan artikel ini, penulis sekaligus mengenalkan konsep sederhana dan biasa ini dengan harapan menjadikan perpustakaan menjadi luar biasa.
Perpustakaan kreatif
Perpustakaan memang identik dengan koleksi buku yang tertata dalam rak dan lemari. Seperti dalam definisi tradisional, perpustakaan adalah sebuah koleksi buku dan majalah (wikipedia). Di tengah atau disisi-sisinya terdapat meja dan kursi yang berderet sebagai tempat pengunjung untuk membaca. Kondisi ini mungkin tidak berubah selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun sehingga seolah tidak ada kesan ke’special’an dalam penataan perabot perpustakaan. Maka jangan heran kalau banyak orang lebih memilih tempat hiburan / rekreasi dari pada perpustakaan untuk menghabiskan masa liburannya. Perpustakaan hanya akan dikunjungi ketika mereka ’butuh’ saja, seperti dalam mencari literatur untuk referensi skripsi, menyelesaikan tugas resensi buku, dan berbagai kegiatan yang mereka anggap melelahkan. Sehingga tidak ada kesan ’terhibur’ dengan kunjungannya ke perpustakaan, melainkan hanya ’terpaksa’ agar permasalahanya ’terselesaikan’. Berangkat dari permasalahan tersebut, sifat atraktif tidak dipungkiri mutlak dimiliki oleh suatu perpustakaan. Kata atraktif berasal dari bahasa Inggris yaitu atractive yang artinya menarik. Sumber lain menyebutkan definisi atraktif yaitu: mempunyai daya tarik dan bersifat menyenangkan. Kemudian pertanyaan yang muncul: Menarik dalam hal apa?? Tentunya diharapkan menarik dalam segala hal, baik dari pelayanan sirkulasi, penataan bahkan hiasan. Konsep Library’s special moment lebih menekankan pada konsep penataan dan pemilihan hiasan yang cocok. Penataan disini dapat mencakup penataan buku, rak, meja dan kursi. Sesuai dengan konsep Library’s special moment, penataan ini harus bertema dengan keadaan (perayaan) yang sedang berlangsung dimasyarakat. Koleksi buku-buku kepahlawanan seperti Kisah Soeharto, Soekarno, Moh.Hatta tidak ada salahnya diletakaan di almari kaca (display) yang terdekat dengan pintu utama perpustakaan menjelang, pada, dan beberapa hari setelah Hari Pahlawan yang jatuh pada tanggal 10 November. Buku tersebut memang hanya sebagai pajangan dan tidak untuk dibaca, karena terdapat banyak buku-buku yang sama yang dapat dicari didalam ruang koleksi buku. Sebagai hiasan , yaitu dipajang pigura-pigura foto pahlawan nasional didinding-dinding di ruang baca pengunjung. Kalaupun sudah ada, sebaiknya diberi hiasan bunga dari plastik atau pita disudut-sudut pigura sehingga ada kesan mengenang para pahlawan yang telah berjasa bagi kemajuan bangsa dan negara. Sementara penataan kursi dan meja lebih diarahkan untuk tidak membelakangi dinding, karena memang foto / lukisan pahlawan sedang dipajang disana. Untuk penataan rak, cukup sekadar merapikan letak dan memperkirakan jarak antara satu rak buku dengan yang lain dengan harapan dapat memaksimalkan space (ruang) untuk menghindari permasalahan akibat jumlah pengunjung yang banyak dan berdesakan, apalagi pada saat liburan. Sementara untuk areal staf, penataan perabot dan pemilihan hiasan disesuaikan keinginan staf-staf itu sendiri mengingat areal ini jauh dari perhatian pengunjung.
Pada saat Bulan Ramadhan, buku-buku berkaitan dengan agama Islam dimasukkan dalam rak display berkaca agar lebih mudah dipandang. Hiasan-hiasan dindingnya juga harus dibuat bernuansa religius tetapi tidak berlebihan. Pajangan kaligrafi yang sederhana akan cocok sebagai hiasan selama bulan Ramadhan.. Tetapi, hendaknya kaligrafi ini berisikan doa-doa sederhana yaitu doa sehari-hari, seperti doa akan belajar, doa ketika bersin, dan sebagainya. Mendekati Hari Raya Idul Fithri, hiasan yang cocok digantungkan di plafon adalah ketupat-ketupat dari gabus, sementara untuk didinding adalah ketupat berbahan kertas emas atau pita jepang. Kalau perlu para staf mendisplay bahkan menjual parsel-parsel lebaran yang tentunya parsel ini berisikan buku-buku bertemakan religius. Yang sangat perlu menjadi perhatian saat bulan Ramadhan yaitu pada penataan rak perpustakaan. Kalau perlu, rak yang kurang terpakai untuk sementara diletakkan diluar ruang. Karena dalam menunggu waktu berbuka, banyak orang menghabiskan waktu mereka dengan membaca-baca diperpustakaan. Sehingga, tidak dipungkiri, pengunjung perpustakaan akan melonjak drastis. Tentu kita tidak menginginkan timbul kesan sumpek, panas dan gerah dari para pengunjung perpustakaan.
Perpustakaan Adaptif
Secara tidak langsung, konsep ’Library’s special moment’ memberikan kesan bahwa perpustakaan bersifat adaptif. Kata adaptif berasal dari bahasa inggris yaitu ’adaptive’ yang artinya dapat menyesuaikan diri. Sementara dalam kamus Besar Bahasa Indonesia adaptif berarti mudah menyesuaikan (diri) dengan keadaan. Tetapi hakikat adaptif dari perpustakaan sering disalah-artikan oleh masyarakat kita sendiri. Perpustakaan yang adaptif sering diartikan sebagai perpustakaan yang mampu bermeta-morfosis menjadi perpustakaan modern sesuai keadaan atau kebutuhan diera globalisasi. Penggunaan komputer seolah-olah wajib ada dalam setiap perpustakaan. Perpustakaan tradisional tak ber-komputer selalu dianggap kuno dan tidak berkembang. Penggunaan komputer dianggap memudahkan dan dapat mempercepat pekerjaan-pekerjaan perpustakaan yang pada akhirnya dapat memuaskan para pengunjung. Tetapi apa yang terjadi, penggunaan komputer ternyata justru mempersingkat waktu para pengunjung untuk membaca diperpustakaan. Apalagi bila jumlah komputer yang sangat banyak. Diruang staf, diruang baca, bahkan disamping rak buku tersebar komputer-komputer. Perpustakaan seperti tak berbeda dengan warnet (warung internet). Walaupun begitu, disatu sisi, memang kondisi ini sangat menguntungkan, karena masyarakat cepat terlayani dan cepat mendapatkan buku keinginannya. Tetapi apa yang pengunjung lakukan menjadi terbatas: masuk perpustakaan, dapat buku, langsung pulang. Lingkungan perpustakaan seolah hanya menjadi tempat mampir para pengunjung, bahkan hanya sebentar. Parahnya lagi, bila pengunjung datang ke perpustakaan hanya untuk ber-internet ria. Belum lagi beban listrik akan semakin meningkat. Maka dari itu, hendaknya kita mencoba menggeser dahulu makna adaptif tersebut menjadi makna adaptif yang sesuai dengan jati diri negeri sendiri.
Dengan konsep Library’s Special Moment, semua perpustakaan dimanapun berada baik ditengah kota maupun dipelosok desa, baik perpustakaan modern maupun yang masih tradisional, dapat berkembang menjadi perpustakaan yang adaptif. Dengan menggunakan trik dalam menata perabot dan penggunaan hiasan, akan memperkuat eksistensi perpustakaan walau ditengah era globalisasi. Contohnya seperti hiasan terompet pada akhir tahun yang dipajang dipintu masuk (yang diluar negeri masih jarang dilakukan), tentu akan menghidupkan atmosfer tahun baru didalamnya. Seolah-olah perpustakaan adalah makhluk hidup yang dengan bahagia mengucapakan ”Selamat Tahun Baru” pada para pengunjungnya. Penyambutan yang luar biasa ini sudah pasti akan mendongkrak jumlah pengunjung perpustakaan. Pepustakaan tentu akan lebih berkesan dihati pengunjungnya. Ide-ide kreatif dan berbeda dalam menata dan menghias perpustakaan dari satu even ke even yang lain menunjukkan bahwa perpustakaan mampu menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungannya (adaptif). Bahkan, adaptif yang seperti inilah yang dibutuhkan perpustakaan agar mampu bertahan diera globalisasi ini.
Untukmu Perpustakaan Negriku
Agar konsep Library’s Special Moment dapat berjalan baik diperlukan kerja keras dan daya kreatif yang baik dari para staff dan pustakawan. Untuk itu, suatu pelatihan untuk mereka memang sangat mutlak diperlukan. Pemerintah Daerah hendaknya membantu menyediakan tenaga pelatih yang sudah ahli khususnya dalam hal tata ruang dan estetika. Dengan demikian, konsep Library’s Special Moment akan mudah dilaksanakan secara baik dan kontinyu tentunya. Dengan mengaplikasikan konsep Library’s Special Moment ,diharapkan perpustakaan lebih mudah beradaptasi bak ’seekor bunglon’ yang dapat berwarna hijau didedaunan dan berubah coklat di batang-batang pohon. Tanpa harus menggunakan teknologi yang serba canggih, tanpa harus dibangun megah dan bertingkat-tingkat, tanpa harus memiliki koneksi internet yang mahal, justru hanya dengan menjual ide-ide unik dan orisinil dalam peningkatan mutu estetika, akan memperkuat jati diri dan daya saing perpustakaan ditingkat nasional bahkan internasional. Bravo Perpustakaan Indonesia.

sumber : http://kasmunbimo.blogspot.com/2011/06/penataan-perpustakaan.html

Sabtu, 13 April 2013

Perkembangan Perpustakaan di Indonesia

SEJARAH PERPUSTAKAAN DI INDONESIA

Perpustakaan lahir seiring dengan tumbuhnya peradaban manusia, utamanya baca tulis. Kemajuan peradaban manusia, berdampak pula pada perkembangan perpustakaan  baik jenis, sistem, kepemilikan ataupun hal-hal lain yang berkaitan dengan penyelenggaraan perpustakaan. Awal berdirinya perpustakaan, dimulai ketika manusia mengenal tulisan, bahan tulisan dan alat tulis. Sehingga tidak berkelebihan, kalau dikatakan bahwa sejarah perpustakaan sama tuanya dengan usia peradaban manusia, semenjak mereka mengenal baca tulis. Berbagai media yang digunakan untuk kegiatan tulis menulis, antara lain : batu, pelepah, tanah liat, parchmen yang terbuat dari kulit domba atau sapi yang dikeringkan. Beberapa parchmen yang disatukan, disebut dengan istilah codex.
Perkembangan perpustakaan di berbagai negara (Suwarno, 2007), antara lain dapat dilacak dari apa yang dilakukan oleh bangsa Sumeria dan Babylonia. Sekitar tahun 3000 SM, bangsa Sumeria  telah menyalin rekening,  jadwal  kegiatan,  pengetahuan  yang  dimilikinya,  dalam bentuk lempeng tanah liat (clay tablets) dan tulisan yang digunakan berujud gambar (pictograph). Ketika kemudian Sumeria ditaklukan oleh Babylonia, disamping kebudayaannya  diserap,  maka  bentuk  tulisannyapun  diubah menjadi tulisan paku (cunciform).
Di Mesir, perpustakaan juga mengalami perkembangan yang signifikan. Teks tertulis yang tersimpan di perpustakaan Mesir, diduga ditulis sekitar tahun 4000 SM dengan gaya tulisan yang disebut hieroglyph. Perpustakaan di Mesir semakin berkembang, manakala sekitar tahun 1200 SM diketemukan papyrus, yang dapat digunakan sebagai media untuk tulis menulis. Papyrus dibuat dari sejenis rumput yang dihaluskan dan dikeringkan, dan dari  kata  itulah kemudian berkembang istilah paper, papiere, papiros, yang berarti kertas (Suwarno, 2007).
Aristoteles ditengarai sebagai orang yang pertama kali mengumpulkan, menyimpan dan memanfaatkan budaya masa lalu di Yunani. Perkembangan perpustakaan di negeri ini, dikenal melalui perpustakaan milik Peistratus (Athena/abad ke 6), Polyerratus (Samos/abad ke 7), dan Pericles, sekitar abad ke 5. Peradaban Yunani mengenal jenis tulisan yang dikenal sebagai mycena (1500 SM), dan kemudian digantikan oleh 22 huruf temuan orang Phoenicia, yang dalam pekembangannya berubah menjadi 26 huruf sebagaimana yang digunakan saat ini.
Perpustakaan juga diketahui berkembang di Romawi, Eropa Barat dan Amerika Utara. Perkembangannya menjadi semakin cepat, sejak ditemukan mesin cetak pada abad pertengahan. Johannes Gutenberg dari Jerman, adalah orang yang memelopori cara penulisan dengan menggunakan mesin cetak, untuk mengganti teknik penulisan yang sebelumnya menggunakan tangan.  Sejalan dengan teknologi yang berkembang pada saat itu, produksi buku yang dihasilkan bentuknya masih sangat sederhana. Dengan teknik yang disebut ugari, bentuk buku yang diproduksi menjadi barang langka dan dikenal sebagai incunabula (Sulistyo-Basuki dalam Suwarno, 2007).
Revolusi industri yang terjadi di Eropa, menjadi pemantik berkembangnya perpustakaan. Pesatnya perkembangan teknologi dan sistem yang lebih modern, mempercepat penyebaran perpustakaan ke seluruh penjuru dunia, termasuk Indonesia.
C   Periodesasi Perkembangan Perpustakaan di Indonesia
a.   Era Sebelum Penjajahan
Bangsa Indonesia sejak lama telah mengenal peradaban baca tulis. Prasasti Yupa di Kutai Kalimantan Timur yang diperkirakan berasal dari abad ke V Masehi, merupakan bukti sahih tentang keberadaan peradaban tersebut (Almasyari, 2007).
Pada era kerajaan Hindu-Budha, banyak lahir mahakarya para empu seperti Negarakertagama, Arjunawiwaha, Mahabharata, Ramayana, Sutasoma dll. Karya-karya tersebut merupakan hasil interaksi antara kebudayaan khas Indonesia dengan budaya asing, utamanya India. Pada saat itu kerajaan-kerajaan telah memiliki semacam pustaloka, yakni tempat untuk menyimpan beragam karya sastra ataupun kitab-kitab yang ditulis oleh para pujangga. Hanya saja, pemanfaatan naskah-naskah tersebut bukan untuk konsumsi masyarakat umum, melainkan lebih banyak untuk keperluan raja dan para kerabatnya (Sumiati dan Arief, 2004).
Perkembangan perpustakaan mengalami pasang naik di era kerajaan Islam. Masuknya budaya Arab termasuk baca dan tulis,  yang kemudian berinteraksi dengan kebudayaan Melayu semakin memperkaya khasanah budaya Indonesia. Pada masa ini banyak dihasilkan karya-karya besar para pujangga, seperti kitab Bustanus Salatin, Hikayat Raja-Raja Pasai, Babad Tanah Jawi dll. Kitab-kitab tersebut biasanya disimpan di dekat keraton atau masjid, yang menjadi pusat aktivitas kerohanian dan kebudayaan.
b.   Era Pemerintahan Hindia- Belanda
Masuknya bangsa Belanda dengan membawa teknologi bidang percetakan, semakin mempercepat  perkembangan budaya baca tulis di Indonesia. Di samping mendatangkan mesin cetak, mereka membangun gedung perpustakaan di beberapa daerah. Salah satu yang sampai sekarang masih eksis, adalah Kantoor voor de Volkslektuur yang kemudian berganti nama menjadi Balai Pustaka.
Pada tahun 1778, Bataviaasch Genootschap voor Kunsten en Wetenschappen mendirikan perpustakaan yang mengkhususkan pada bidang kebudayaan dan ilmu pengetahuan, yang kemudian pada tahun 1950 diambil alih oleh Pemerintah Indonesia, dan dinamakan Lembaga Kebudayaan Indonesia. Dalam perkembangannya, pada tahun 1989 organisasi ini melebur menjadi bagian dari Perpustakaan Nasional Indonesia.  Perpustakaan lain yang didirikan adalah Bibliotheca Bogoriensis, dengan fokus pada bidang biologi dan pertanian praktis. Perkembangan perpustakaan di beberapa daerah, antara lain dijumpai di Probolinggo (1874), Semarang (1876), Yogyakarta (1878), Surabaya (1879), Bandung dan Salatiga (1891). Pada tahun 1916, perpustakaan-perpustakaan yang ada disatukan menjadi Vereeniging tot bevordering van het bibliotheekwezen, atau perkumpulan untuk memajukan perpustakaan di Hindia Belanda.
Semasa pemerintah Belanda menjalankan politik etis, Commissie voor de Volkslektuur merupakan lembaga yang berperan dalam pemberdayaan perpustakaan. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan, antara lain menambah jumlah perpustakaan di desa dan sekolah kelas dua di Jawa dan Madura, melengkapi koleksinya dengan terbitan-terbitan dalam bahasa Jawa, Sunda, Melayu dan Madura. Dalam perkembangannya, hal tersebut kemudian memicu para pengusaha pribumi untuk membentuk lembaga penerbitan, yang dapat memberikan kontribusi terhadap pengembangan perpustakaan di Indonesia (Almasyari, 2007).
c.   Era Pemerintahan Jepang
Ketika Jepang menguasai Indonesia, mereka mengeluarkan kebijakan berupa larangan penggunaan buku-buku yang ditulis dalam bahasa Inggris, Belanda dan Perancis di sekolah-sekolah. Akibatnya, banyak buku terutama yang menggunakan bahasa Belanda dimusnahkan. Kondisi ini justru menguntungkan bagi perkembangan perpustakaan di Indonesia, karena dengan kebijakan tersebut buku yang diterbitkan dalam bahasa Indonesia jumlahnya menjadi semakin meningkat. Beberapa surat kabar yang terbit dengan menggunakan bahasa Indonesia pada saat itu, antara lain Suara Asia, Cahaya Asia dll.
d.   Era Pemerintahan Republik Indonesia
Setelah Indonesia merdeka, di tengah konsentrasi untuk mempertahankan kemerdekaan dari invasi pasukan Inggris dan Belanda, serta kesibukan menghadapi pemberontakan di beberapa daerah, pada tahun 1948 pemerintah mendirikan Perpustakaan Negara Republik Indonesia di Yogyakarta. Banyaknya permasalahan yang harus dihadapi, mengakibatkan lambatnya perkembangan perpustakaan di Indonesia. Ketika kondisi negara mulai mapan, pada kurun waktu tahun 1950-1960 pemerintah Republik Indonesia mulai mengembangkan perpustakaan melalui pendirian Taman Pustaka Rakyat /TPR (Sumiati dan Arief, 2004). Ada tiga tipe Taman Pustaka Rakyat :
(1).    Tipe A untuk pedesaan, dengan komposisi koleksi 40 % bacaan setingkat SD dan 60 % setingkat SMP
(2).    Tipe B untuk kabupaten, dengan komposisi koleksi 40 % bacaan setingkat SMP dan 60 % bacaan setingkat SMA
(3).    Tipe C untuk provinsi, dengan komposisi koleksi 40 % bacaan setingkat SMA dan 60 % bacaan setingkat Perguruan Tinggi.
Pada tahun 1956, berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia No. 29103, Pepustakaan Negara didirikan di beberapa wilayah di Indonesia. Pendirian perpustakaan tersebut dimaksudkan antara lain untuk membantu perkembangan perpustakaan dan menyelenggarakan kerjasama antar perpustakaan yang ada. Perhatian Pemerintah terhadap pengembangan perpustakaan terus meningkat, dan pada tahun 1969 dialokasikan dana untuk mendirikan Perpustakaan Negara di 26 Provinsi. Lembaga tersebut difungsikan sebagai Perpustakaan Wilayah, di bawah binaan Pusat Pembinaan Perpustakaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia No. 0164/0/1980, pada tahun 1980 didirikan Perpustakaan Nasional, sebagai Unit Pelaksana Teknis bidang perpustakaan di lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kartosedono (Sumiati dan Arief, 2004) menyatakan bahwa Perpustakaan Nasional merupakan hasil integrasi dari Perpustakaan Sejarah Politik dan Sosial, Bidang Bibliografi dan Deposit  Pusat Pembinaan Perpustakaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Perpustakaan Museum Nasional dan Perpustakaan Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
Dalam perkembangannya, melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia No.11 Tahun 1989, Perpustakaan Nasional yang kala itu merupakan unit pelaksana teknis di lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, berubah menjadi Lembaga Pemerintah Non Departemen, yang langsung bertanggungjawab kepada Presiden. Pembentukan organisasi ini merupakan penggabungan antara Perpustakaan Nasional dengan Perpustakaan Wilayah yang ada di 27 provinsi. Pada tahun 1997 berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 50, Perpustakaan Nasional diubah namanya menjadi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, yang berlaku sampai dengan saat ini.
Seiring dengan diberlakukannya Otonomi Daerah, berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 67 Tahun 2000, Perpustakaan Nasional Provinsi menjadi perangkat daerah, dengan sebutan Perpustakaan Umum Daerah. Mulai saat itu penyelenggaraan perpustakaan diserahkan kepada kebijakan Pemerintah Daerah masing-masing. Kemudian dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan, diharapkan perkembangan perpustakaan di Indonesia menjadi semakin meningkat, karena adanya payung hukum yang kokoh.

KPAD Banjarnegara – BUDI HANDARI,SH
http://perpusbna.net/v2/2012/sejarah-perpustakaan-di-indonesia.html

Kamis, 04 April 2013

SEJARAH PERKEMBANGAN PEPUSTAKAAN


SEJARAH PERKEMBANGAN PEPUSTAKAAN

A. Perpustakan Zaman Kuno
Sebenarnya perpustakaan bukan sesuatu hal yang baru, tetapi perpustakaan telah timbul sejalan dengan sejarah perkembangan sejarah manusia di atas dunia ini sejak beribu tahun yang lalu.

1. Asyria, Babylonia, Mesopotamia
Dari hasil penyelidikan yang didapat diketahui bahwa sejak berabad-abad pepustakaan sudah dipandang sebagai faktor sosial yang penting. Kita kenal bahwa setiap peradaban manusia di dunia ini mempunyai suatu tradisi atau adat kebiasan untuk mengumpulkan buku-buku atau bacaan lainnya.
Perpustakaan tertua yang mempunyai peninggalan sejarah yang penting didirikan dalam abad ke 7 SM. Oleh seorang raja Asyria yang bernama Asurbanipal (668-633) di kota Niniveh. Bahan-bahan bacaan yang di pergunakan ialah tablet-tablet tanah liat, yang berisi atau memuat cap, pokok persoalan dan terdapat pula penunjukan-penunjukan kepada sumber-sumber dan di mana pustaka itu bisa di temukan dalam perpustakaan.
Asurbanipal adalah raja yang berpendidikan dan menaruh minta yang besar terhadap perkembangan kesusastraan dan kebudayaan negerinya dengan jalan memcoba menyumpulkan hasil-hasil sastra Asyria.

2. Mesir, Alexandria
Di Mesir perpustakaan telah lama di kenal orang. Suatu bukti yaitu dengan adanya sebuah perpustakaan mesir milik Raja Ramses. Perpustakaan kuno yang sangat termansyur di mesir ialah perpustakaan yang didirikan di Alexandria oleh raja Ptolemey (ptolemaeus) Soter (322-285 SM) raja pertama dinasti Diadoch. Perpustakaan ini menjadi sangat besar di bawah para penggantinya Ptolemey Philadelphus (285-247SM) dan Ptolemey Eurgetes ( 247-221 SM).
Perpustakaan tersebut dibangun Ptolemey dengan maksud mengumpulkan dan memelihara selengkapnya semua karya kesusastraan Yunani. Betapa perntingnya perpustakaan di mesir pad waktu itu ditandai dengan diketahuinya beberapa orang yang bekerja di sana seperti: Zenodotus, Erastothenes, Aristophanes, Aristarchus, Callimachus dan Apollonius sekitar abad tiga dan dua SM.
Koleksi yang dimiliki pepustakan Alexsandria kira-kira 490000 gulungan pada masa Callimachus dan kira-kira 700000 gulungan pada masa Caesar yang sebagian disimpan di Museum istana, yaitu Bruchin sebanyak 4900 rol dan 42000 rol disimpan di Seapium yang merupakan anak perpustakaan.
Bahan perpustakan yang dipergunakan di mesir adalah papyrus, semacam tumbuh-tumbuhan yang hidup subur di rawa-rawa sepanjang sungai Nil. Perkembang perpustakaan di Mesir sebenarnya tidak dapat dipisahkan dengan perkembangan perpustakaan di Yunani purba, Aristoteleslah (384-422 SM) yang mengajar raja-raja Mesir untuk mendidikan perpustakaan.

3. Pergamun
Setelah perpustakan di Alexsandria, muncullah perpustakaan di Pergamun yang didirikan oleh dinasti Attalid. Pada masa pemerintahan dinasti Attalid kota Pergamun sangat termansur di kota kecil dan di seluruh dunia lama karena hasil seni dan kebudayaannya. Dengan adanya embargo papyrus dari mesir, menyebabkan para ahli dan raja di Pergamun berusaha mencari bahan lain, akhirnya ditemukan bahan yang mutunya lebih baik dari papyrus ialah parchemen atau parkemen yang dibuat dari kulit binatang.

Seperti halnya di Alexsandria, di pergamunpun didapati orang katalogus-katalogus serta penyusunnan buku-buku denag teratur. Dari peninggalan sejarah ditemukan ruang-ruang besar untuk perpustakaan yang dihiasi patung-patung pengarang terkenal sperti Hoker, Alcaeeus, Herodotos, dan Timotheus.

4. Yunani (Pra-Hellinisme)
Di Yuanani masa penyair keliling (penipu lara) menuturkan kisahnya dari kota kekota kepada raja-raja yang berkuasa, kesusastraan yang tertulis belum ada. Bahkan pada masa perang Persia bukti adanya perpustakaan tidak terdapat. Aulus Gellias mencatat pada abad ke 3 SM. Bahwa Pisasratus tyran dari pertama dan menyatakan bahwa perpustakan tersebut dipindahkan ke Persia oleh Xerxes I (485-465) dan kemudian dikembalikan ke Athena oleh Seleucus I raja dari kekaisaran Seleucid (306-280).

5. Roma
Perpustakan yang ada di Roma pada waktu itu adalah perpustakan perorangan yamg sebagian besar terdiri dari hasil rampasan perang dan bisanya mereka adalah panglima-panglima perang. Yulias Caesar adalah orang pertama-tama menganjurkan didirikannya perpustakaan umum di Roma. Varro (116-27 SM) memulai rencana-renacana dan menulis karya-karyanya mengenai perpustakaan, tetapi perang saudara menghambat pekerjaannya.

Perpustaakan Augustus di candi Apolo di bukit Palatino memamerkan koleksi Yunani yang di kumpulkan oleh Pompeius yang diawasi oleh Dalmatia. Perpustakan yang kedua di Porticus Octavianus antara bukit Capitoline dan Tiber di awasi oleh Gayus Melissus. Bibliotheca Ulpia milik Trajan melukiskan kecendrungan pendirian perpustakaan-perpustakaan pada serambi candi-candi dan disini ada pembagian karya-karya Yunani dan Latin, juga patung-patung badan pengarang-pengarang terkenal menghiasi didinding-dinding perpustakaan. Perpustakaan umum menjadi ciri khas di kota-kota lama di Italia dan provinsi-provinsi lainya.

B. Perpustakaan pada Abad Pertengahan
Abad pertengahan di tandai dengan runtuhnya peradaban kebudayaan Romawi dan timbul serta berkembangnya peradaban dan kebudayaan Nasrani. Para ahli sejarah tidak memberikan batasan yang tegas bila berakhirnya abad lama dan mulainya abad pertengahan, hanya dikatakan bahwa masa perubahan terjadi kira-kira 500 tahun. Orang orang Nasrani di seluruh kerajaan Romawi (Alexsandria, Caesaria, Yerussalem, carthago) di kumpulkan dalam gereja-gerajanya tulisan yang bersifat Nasrani. Cara seperti ini kemudian ditiru di hampir semua perpustakan gereja Nasrani di Eropa.

Di Inggris, Benedico bishop (628-690 M) menanamkan peranan yang penting dalam pembentukan perpustakaan di tempat-tempat seperti Yort, Canterbury, Wearmouth, dan Jarrow. Di Prancis, perpustakaan gereja yang tua diperbarui dan perpustakan-perpustakan baru banyak didirikan di seluruh kerajaan prancis. Di Jerman, Otto I (936-973) selama masa pemerintahanya selalu di kelilingi oleh buasnya para cerdik-cendikiawan yang pengarungnya dapat dirasakan dalam gereja-gereja Jerman. Sedangkan Perpustakaan biara mencapai puncaknya pada abad ke 10 dan 11.

Ciri-ciri Perpustakaan Abad Pertengahan
1. Stock Buku
a. Menerima manuskrip keagaman dari gerejanya.
b. Menerima hadiah dari pendeta-pendeta baru
c. Menerima sumbangan dari siswa-siswa yang belajar disana.
d. Berupa peninggalan dari pendeta yang sudah meninggal dunia
e. Tukar menukar manuskrip diantara lembaga-lembaga keagamaan
f. Melalui pembelian

2. Penyusunan Koleksi
Biasanya digolong-golongkan berdasarkan pokok soal:
a. Golongan kitap-kitap suci (bibilia sacra atau di vina)
b. Karya-karya pendeta
c. Karya-karya keagamaan lainya
d. Karya karangan bukan agama Nasrani
e. Karya pengarang zaman kuno.

3. Peminjaman
Peminjaman buku seringkali dilakukan dengan aturan yang sangat keras yang dikerjakan oleh librarius yang menyimpan daftar buku yang dipinjam. Misalnya suatu transaksi peminjaman buku-buku di sebuah Ecole de Medicine di paris.

4. Scriptorium
Produksi buku pada waktu itu dilakukan dengan scriptorium, yaitu denagn jalan menyalin. Isi perpustakaan sangat tergantung pada hasil produksi scriptorium. Kegiatan scriptorium tidak hanya melibatkan text, tetapi juga segala pekerjaan yang berhubungan dengan itu.

5. Gedung Perpustakaan.
Bentuk gedung perpustakan biasanya bertingkat dua. Lantai bawah untuk scriptorium dan lantai atas untuk penyimpanan koleksi.

C. Zaman Renaisance
Zaman renaissance abad ke 12 ditandai dengan timbulnya kembali perhatian untuk menyelidiki kebudayaan Yunani dengan pembahasan kembali ilmu-ilmu pengetahuan dalam bahasa latin.

Di Prancis dari abab 11 smpai abad 13, Char, Paris dan Orlean menjadi pusat-pusat perkembangan intelek. Abad ke 13 yang disebub juga abad scholastic, maka buku-buku pelajaran diproduksi secara besar-besaran. Pertumbuhan renaissance di percepat lagi dengan di temukannya alat cetak-mencetak oleh Johan Gutemberg dari jerman abad 15.
Italia menjadi pusat Negara Barat dalam dunia buku. Roma, Florence dan Naples menjadi pusat perpustakaan. Di Florence, Cosimo d Medici (1489-1464) mendirikan perpustakan-perpustakaan medici yang besar.

D. Sejarah perkembangan Perpustakaan Islam
1. Produksi Buku
Minat baca orang Islam yang besar kecintaannya terhadap buku bacaan, mereka giat sekali memproduksi buku, took-toko buku di setiap daratan yang didiami mereka banyak dibangun. Buku-buku di pajang pada bangku-bangku panjang dan punggung-punggung di tandai dengan label untuk memudahkan orang mengetahui identitas buku tersebut.
Sering terdapat pelelangan buku-buku,dan para pelelangnya di sebut “ munaadi”. Sebagian besar dari pedagang tersebut ialah orang–orang yang belajar atau para sarjana seperti Abu Hatin Sahl b. Muhammas As-Sijistaani seorang penyusun kamus.
Pada masa islam buku-buku sudah di cetak melalui kertas, percetakan tersebur berasl dari Italia, walaupun penggunaan kertas yang sedemikian meluas dan produksi buku yang berlebih-lebihan, harga buku tidak menurun.

2. Perkembangan Perpustakaan Islam
Sejak abab IX para pengusaha dan para bangsawan di seluruh tanah arab sudah menaruh perhatian yang sangat besar untuk mengumpulkan buku-buku. Koleksi-koleksi buku tersebut di tunjang oleh warisan-warisan dan sumbangan, kemudian bantuan dari para hartawan yang dermawan yang memberikan subsidai atau upah bagi pelajar yang bekerja disana.

Perpustakan yang termansyur terdapat di bagdad yang bernama “ Baitul Hikmah” di bangun oleh Khalifah Ma’mun dari dinasti Abasiyah pada abad IX. Di Kairo perpustakan keluarga dinasti Abasiyah pad abad X memiliki koleksi lebih dari 200000 buku yang diantaranya lebih dari 2000 terdiri dari Kitap Suci Al-Guran yang terhias dengan indahnya.

E. Perkembangan Perpustakaan di Beberapa Negara di Asia
1. Indonesia
Perkembangan perpustakaan umum di Indonesia, merupakan suatu kenyataan yang dapat di banggakan. Satu-satunya Negara yang di Asia yang dalam waktu singkat telah dapat membangun dan memberikan pelayanan perpustakaan kepada sebagian besar rakyatnya ialah Indonesia. Perpustakaan Rakyat mulai didirikan sejak keluarnya Surat Keputusan P.P. dan K tanggal 14 Agustus 1959 no. 8525/A yang berjalan dengan usaha pemberantasan buta aksara yang ditugaskan kepada Jawatan Pendidikan Masyarakat.
Pada akhir tahun 1953 sebanyak 15000 buku dari 40000 lebih telah mempunyai perpustakaan, yang berarti bahwa dalam masa kurang dari 4 tahun Jawatan pendidikan Masyarakat telah berhasil membangun 15000 perpustakaan tingkat desa, 20657 perpustakaan tingkat kecamatan (A) dan 189 perpustakaan tingkat kabupaten (C)

2. Jepang
Pelayanan perpustakaan modern di Jepang telah diusahakan sejak Jepang membuka hubungan dengan Negara-negara Barat dalam Abad ke 19 dalam tahun 1872 Imperial Library (perpustakaan kerajaan) didirikan di Tokyo yang merupakan perpustakaan yang pertama di Jepang.
Pada tahun 1950 Jepang menetapkan Undang-undang perpustakaan yang berisi:
a. Perpustakan umum tidak menyumpulkan buku dan majalah, tetapi juga surat-surat kabar dan audio visual.
b. Pelayanan harus bebas dari untuk seluruh warga masyarakat.
c. Pelayanan perpustakaan dibebankan kepada Negara melalui departemen Pendidikan.

3. India
Di India pada tahun 1948 negara bagian Madras telah menetapkan Undang-undang perpustakaan untuk daerah yang merupakan undang-undang perpustakaan yang pertama di India. Sejalan dengan pembangunan pusat-pusat pendidikan masyrakat yang dimulai tahun 1952, maka usaha-usaha pelayanan perpustakaan terus berkembang, sehingga pada permulaan tahun 1954 jumlah perpustakaan terus meningkat menjadi 32.000 buah.

4. Pakistan
Pada awalnya Pakistan hanya memiliki beberapa buah perpustakaan sebagian peninggalan colonial. Sekarang jumlah perpustakaannya terus meningkat dan penyelenggaraan menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Perpustakan yang besar ialah perpustakaan umum Punjab yang memiliki koleksi sekitar 200000 jilid, telah berdiri sejak tahun 1884.

5. Srilangka
Perkembangan pelayanan perpustakaan umum di Srilangka seluruhnya merupakan tanggung jawab pemerintah-pemerintah daerah. Perpustakaan umum yang terbesar ialah di Colombo Public Library yang didirikan dalam tahun 1955 dengan cara menggabungkan 2 buah perpustakaan pribadi yang telah berdiri sejak masa penjajahan.

Sumber :
http://manusiagersang.blogspot.com/2010/02/sejarah-perkembangan-perpustakaan.html

Salah Satu Cara Pemberdayaan Potensi Perpustakaan Sekolah


Oleh Perpusatakaan UN Malang

Perpustakaan sekolah sebagai penunjang utama dalam kegiatan pembelajaran mempunyai sumbangan yang sangat besar nilainya dalam upaya peningkatan kualitas pendidikan. Kegiatan belajar yang ditunjang oleh faslitas serta bahan pustaka yang tersedia di perpustakaan akan memberikan pengalaman ganda yaitu dapat mencapai tujuan pengajaran dan kemampuan menggunakan perpustakaan sebagai sumber belajar.

Fungsi Perpustakaan Sekolah

Perpustakaan sekolah merupakan bagian integral dari program sekolah secara keseluruhan, dimana bersama-sama dengan unsur-unsur pendidikan lainnya turut menentukan berlangsungnya suatu proses pendidikan dan pengajaran yang berhasil. Berdasarkan informasi dan ilmu pengetahuan yang diperoleh melalui membaca dan belajar di perpustakaan dapat berfungsi sebagai “gizi intelektual” bagi seluruh kehidupan manusia di kemudian hari.

Perpustakaan sekolah merupakan penunjang usaha mempertinggi kemampuan daya serap siswa terhadap pelajaran yang diberikan oleh guru di kelas, memperluas pengetahuan yang berguna di masyarakat dan mempertinggi kemampuan pemahaman untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi. Selain itu perpustakaan sekolah diperlukan oleh masyarakat di lingkungan sekolah antara lain:

1. sebagai salah satu pusat sumber belajar,

2. salah satu komponen instruksional,

3. sumber utama yang menunjang kualitas pendidikan dan pengajaran,

4. sebagai laboratorium belajar dimana siswa dapat belajar yaitu mempertajam dan memperluas kemampuan untuk membaca, menulis, berfikir dan berkomunikasi.

Keberadaan perpustakaan sekolah diharapkan dapat membantu siswa dalam menyelesaikan tugas-tugas di kelas, selain itu kegiatan belajar mengajardapat berlangsung secara dinamis karena diperkaya dengan berbagai koleksi bahaan bacaan. Perpustakaann sekolah akan tampak bermanfaat apabila benar-benar dapat memperlancar pencapaian tujuan proses belajar mengajar di sekolah.

Untuk memanfaatkan perpustakaan sekolah dalam pembelajaran tidaklah mudah, karena dalam pemanfaatan perpustakaan sekolah ada factor penghambat dan pendukungnya. Faktor-faktor penghambat dalam pemanfaatan perpustakaan sekolah diantaranya:

1. kurannya pengetahuan guru tentang pembelajaran,

2. kurangnya pemahaman guru tentang konsep pemanfaatan perpustakaan sekolah,

3. padatnya kurikulum di sekolah, kurangnya koleksi bahan pustaka,

4. kurangnya layanan informasi danb referensi,

5. kurangnya prasarana perpustakaan

6. dan adanya keterbatasan waktu pemanfaatan perpustakaan sekolah.

Sedangkan beberapa faktor pendukung dalam pemanfaatan perpustakaan sekolah diantaranya:

1. Eksistensi perpustakaan sekolah sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang Sisdiknas dan Undang-undang Perpustakaan,
2. Sumber daya pemustaka sebagai pengelola perpustakaan sekolah
3. Koleksi perpustakaan
4. Gedung atau ruang perpustakaan
5. System layanan perpustakaan,
6. Sarana dan prasarana penunjang system layanan seperti pemanfaatan TI.

Peran Guru Dalam Pemberdayaan Perpustakaan


Berkenaan dengan pemanfaatan perpustakaan, guru perlu memberikan motivasi kepada siswa agar tertarik dan berminat untuk memanfaatkan bahan pustaka yang disediakan di perpustakaan. Guru diharapkan dapat menjadi fasilitator dan memberikan teladan dengan cara memberikan bimbingan kepada siswa agar gemar membaca buku-buku yang diperlukan dan dapat mengembangkan berbagai pengetahuan lainnya diluar materi pelajaran di kelas. Guru sebagai fasilitator mengandung pengertian bahwa guru harus berusaha untuk mengetahui secara pasti kebutuhan sumber-sumber pustaka yang dibutuhkan oleh siswa, guru itu sendiri ataupun kebutuhan dalam pengembangan pengetahuan lainnya yang relevan. Beberapa peran guru sebagai fasilitator dalam optimalisasi peran perpustakaan sekolah diantaranya:


1. Kewajiban untuk dapat menyediakan informasi bahan ajar dan mengupayakan darimana dan bagiamana cara memperoleh sumber-sumber belajar tersebut. Jika guru tidak melakukan perannya dengan baik, maka hal itu akan menjadi salah satu penghambat pemanfaatan perpustakaan sekolah,

2. Guru sebagai kunci pembuka perpustakaan artinya apabila guru tidak berupaya memotivasi siswa untuk memanfaatkan bahan pustaka maka siswa tidak tertarik dan berminat terhadap perpustakaan.

3. Sebagai faslilitator karena guru mengetahui secara pasti sumber sumber buku apa saja yang dibutuhkan oleh siswa. Peran guru sebagai faslitator diantaranya adalah kewajiban untuk dapat menyediakan informasi bahan ajar dan mengupayakan darimana dan bagiamana cara memperoleh sumber-sumber belajar tersebut kepada penyelenggara perpustakaan atapun ke level kepala sekolah.

Kepedulian semua pihak terhadap fungsi perpustakaan sekolah sangat diharapkan agar perpustakaan sebagai jantung di sekolah dapat benar-benar berjalan guna meningkatkan atomosfir pembelajaran dan sebagai tempat pemancaran berbagai pengetahuan di sekolah.


Sumber Bacaan:

Poerwanti, E dan Widodo, N. 2000. Perkembangan Peserta Didik. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang.

Mbulu, Y. 1991. Pemanfaatan Perpustakaan Sekolah dalam Kegiatan Belajar Mengajar. Majalah Pendidikan, Edisi 25 Tahun XVII (p. 87-95)

Bafadal, Ibrahim. 2001 . Pengelolaan Perpustakaan Sekolah. Jakarta: Bumi Aksara.
http://skripsi-dulrohman.blogspot.com/2012/06/salah-satu-cara-pemberdayaan-potensi.html